Saturday, October 10, 2015
Pentingnya Mazhab Fiqh!
Kalangan yang memerangi mazhab fiqih dan berupaya menjauhkan generasi muslim di negeri ini dari mazhab
ternyata cukup banyak juga. Saya sendiri kurang mengerti kenapa mazhab-mazhab fiqih seolah dijadikan musuh yang harus diperangi.
Kalau diingat-ingat hari ini, rasanya baru agak sadar bahwa ternyata sejak masih kecil dan jadi semacam remaja masjid, opini saya agak digiring ke arah yang kurang sejalan dengan disiplin ilmu mainstream. Bahkan ada kesan bahwa mazhab fiqih itu harus dihindari, diperangi dan dimusuhi. Sebab mazhab itu dianggap sebagai kejumudan, keterbelakangan dan juga kebodohan yang bertentangan dengan akal dan logika manusia.
Biasanya, para penceramah dan juru dakwah kalau bicara tentang problematika perpecahaan umat Islam, selalu menyisipkan pesan dalam kajian materinya, bahwa mazhab-mazhab itulah biang kerok perpecahan dalam
agama Islam. Menurut mereka, karena masih saja ada kelompok umat Islam yang pakai mazhab-mazhaban, makanya umat Islam jadi lemah, mundur dan selalu dibodohi oleh bangsa lain.
Doktrin-doktrin seperti itu nyaris tiap hari saya dengar, dan lama-lama jadi bahan saya untuk berdakwah kemana-mana. Tiap kali mengisi pengajian, taklim, halaqah, daurah dan seterusnya, materi favorit saya adalah : Sebab-sebab Kemunduran Umat Islam . Dan ujung-ujungnya, yang selalu saya persalahkan tidak lain adalah karena masih saja ada orang Islam yang pakai mazhab. Jadi dalam pandangan saya saat masih belia, segala macam kemunduran dan kehancuran umat Islam, disebabkan oleh masih adanya orang-orang yang bermazhab.
Benar-benar parah dan rusak sekali pemahaman saya kala itu. Kalau ingat bagaimana dakwah saya ketika itu, jadi
malu sendiri rasanya. Tetapi mau bagaimana lagi? Memang itulah doktrin yang setiap hari saya terima.
Lha wong tiap hari dalam materi pengajian, pembinaan dan pengkaderan para calon da’i muda, memang materi-materi seperti itu yang di- cekokin ke dalam alam pikiran saya yang masih planga-plongo waktu itu.
Parahnya, saat itu kepada kami juga disuguhkan tentang siapa sosok yang harus kita perangi, karena dianggap sebagai para pembela mazhab. Yang ditunjukkan saat itu tidak lain adalah mereka para kiyai yang pakai jubah dan surban, atau imam yang berdoa dan berdzikirnya dengan suara keras pakai pengeras suara di masjid, atau para tokoh agama yang suka memimpin baca tahlihan, arwahan dan selametan.
Dalam bahasa mudah, saya dan teman-teman saat itu menyebut mereka sebagai tokoh agama tradisionalis. Dan mereka itu kita jadikan ‘musuh besar’ dakwah. Dalam konsep kami saat itu, perilaku dan tatacara beragama mereka itu harus dilawan, dibasmi dan diperangi. Karena menurut persepsi kami saat itu, semua itu tidak sejalan dengan Al-Quran dan As-Sunnah, alias bid’ah dan hanya sesuatu yang diada-adakan. Bukan asli dari Rasulullah SAW.
Maka sudah menjadi tugas kami para da’i muda saat itu untuk membangun berbagai hujjah dan argumentasi untuk
‘menyerang’ apapun yang mereka kerjakan, sambil kita lemparkan tuduhan sebagai biang kerok mazhab, tukang
bid’ah, kelompok yang menyimpang dan aqidahnya bermasalah. Salah satunya adalah membenturkan mereka dengan hadits-hadits shahih. Kalau ada perilaku mereka yang kita anggap bertentangan dengan selera kita, tinggal kita carikan hadits-hadits yang kita anggap sebagai ‘penangkal’nya. Kita bacakan hadits-hadits itu, biar mereka
terdiam dan tidak bisa berkutik.
Maka kalau sampai kita bisa bikin mereka terdiam tidak mampu menjawab atas lemparan hadits-hadits kita, maka disitulah terjadi ‘puncak ejakulasi’ kemenangan. Rasanya puas sekali, karena sudah mencapai titik klimaks.
Tentu semua itu adalah masa lalu, masa-masa ketika saya dan teman-teman sesama ustadz yang lain masih mencari jatidiri. Belum bisa bahasa Arab, baca Al-Quran pun banyak salahnya, dan tentunya juga belum pernah belajar ilmu syariah langsung kepada sumbernya. Kami saat itu adalah tokoh da’i muda yang progeresif, suka berdebat, hobi menyalahkan pendapat orang dan gemar bikin keributan dimana-mana. Namanya saja anak mudah, ya begitulah perilaku dan tindak tanduknya. Walhasil, kalau hari ini saya menemukan perilaku pada para da’i yang progresif dan semangat memberantas mazhab fiqih, saya kadang senyum-senyum sendiri. Sebab saya seperti melihat diri saya yang masih belia di masa lalu.
Dalam hati saya cuma ada doa, semoga Allah mempercepat kedewasaan mereka, menambahkan ilmunya, memberi mereka jalan akses yang cepat dan mudah untuk belajar ilmu syariah. Agar mereka segera sadar kalau mereka masih butuh banyak belajar lagi ke depan. Masak baru kenal sedikit-sedikit dengan karya-karya Ibnu Taimiyah dan Ibnul Qayyim saja, sudah merasa jadi ulama terbesar yang merasa bisa menyalahkan siapa saja? Itu sih sudah jadi masa lalu. Kalau sampai hari ini tidak sadar-sadar juga, ah sayang sekali tentu.
Ahmad Sarwat, Lc., MA
ternyata cukup banyak juga. Saya sendiri kurang mengerti kenapa mazhab-mazhab fiqih seolah dijadikan musuh yang harus diperangi.
Kalau diingat-ingat hari ini, rasanya baru agak sadar bahwa ternyata sejak masih kecil dan jadi semacam remaja masjid, opini saya agak digiring ke arah yang kurang sejalan dengan disiplin ilmu mainstream. Bahkan ada kesan bahwa mazhab fiqih itu harus dihindari, diperangi dan dimusuhi. Sebab mazhab itu dianggap sebagai kejumudan, keterbelakangan dan juga kebodohan yang bertentangan dengan akal dan logika manusia.
Biasanya, para penceramah dan juru dakwah kalau bicara tentang problematika perpecahaan umat Islam, selalu menyisipkan pesan dalam kajian materinya, bahwa mazhab-mazhab itulah biang kerok perpecahan dalam
agama Islam. Menurut mereka, karena masih saja ada kelompok umat Islam yang pakai mazhab-mazhaban, makanya umat Islam jadi lemah, mundur dan selalu dibodohi oleh bangsa lain.
Doktrin-doktrin seperti itu nyaris tiap hari saya dengar, dan lama-lama jadi bahan saya untuk berdakwah kemana-mana. Tiap kali mengisi pengajian, taklim, halaqah, daurah dan seterusnya, materi favorit saya adalah : Sebab-sebab Kemunduran Umat Islam . Dan ujung-ujungnya, yang selalu saya persalahkan tidak lain adalah karena masih saja ada orang Islam yang pakai mazhab. Jadi dalam pandangan saya saat masih belia, segala macam kemunduran dan kehancuran umat Islam, disebabkan oleh masih adanya orang-orang yang bermazhab.
Benar-benar parah dan rusak sekali pemahaman saya kala itu. Kalau ingat bagaimana dakwah saya ketika itu, jadi
malu sendiri rasanya. Tetapi mau bagaimana lagi? Memang itulah doktrin yang setiap hari saya terima.
Lha wong tiap hari dalam materi pengajian, pembinaan dan pengkaderan para calon da’i muda, memang materi-materi seperti itu yang di- cekokin ke dalam alam pikiran saya yang masih planga-plongo waktu itu.
Parahnya, saat itu kepada kami juga disuguhkan tentang siapa sosok yang harus kita perangi, karena dianggap sebagai para pembela mazhab. Yang ditunjukkan saat itu tidak lain adalah mereka para kiyai yang pakai jubah dan surban, atau imam yang berdoa dan berdzikirnya dengan suara keras pakai pengeras suara di masjid, atau para tokoh agama yang suka memimpin baca tahlihan, arwahan dan selametan.
Dalam bahasa mudah, saya dan teman-teman saat itu menyebut mereka sebagai tokoh agama tradisionalis. Dan mereka itu kita jadikan ‘musuh besar’ dakwah. Dalam konsep kami saat itu, perilaku dan tatacara beragama mereka itu harus dilawan, dibasmi dan diperangi. Karena menurut persepsi kami saat itu, semua itu tidak sejalan dengan Al-Quran dan As-Sunnah, alias bid’ah dan hanya sesuatu yang diada-adakan. Bukan asli dari Rasulullah SAW.
Maka sudah menjadi tugas kami para da’i muda saat itu untuk membangun berbagai hujjah dan argumentasi untuk
‘menyerang’ apapun yang mereka kerjakan, sambil kita lemparkan tuduhan sebagai biang kerok mazhab, tukang
bid’ah, kelompok yang menyimpang dan aqidahnya bermasalah. Salah satunya adalah membenturkan mereka dengan hadits-hadits shahih. Kalau ada perilaku mereka yang kita anggap bertentangan dengan selera kita, tinggal kita carikan hadits-hadits yang kita anggap sebagai ‘penangkal’nya. Kita bacakan hadits-hadits itu, biar mereka
terdiam dan tidak bisa berkutik.
Maka kalau sampai kita bisa bikin mereka terdiam tidak mampu menjawab atas lemparan hadits-hadits kita, maka disitulah terjadi ‘puncak ejakulasi’ kemenangan. Rasanya puas sekali, karena sudah mencapai titik klimaks.
Tentu semua itu adalah masa lalu, masa-masa ketika saya dan teman-teman sesama ustadz yang lain masih mencari jatidiri. Belum bisa bahasa Arab, baca Al-Quran pun banyak salahnya, dan tentunya juga belum pernah belajar ilmu syariah langsung kepada sumbernya. Kami saat itu adalah tokoh da’i muda yang progeresif, suka berdebat, hobi menyalahkan pendapat orang dan gemar bikin keributan dimana-mana. Namanya saja anak mudah, ya begitulah perilaku dan tindak tanduknya. Walhasil, kalau hari ini saya menemukan perilaku pada para da’i yang progresif dan semangat memberantas mazhab fiqih, saya kadang senyum-senyum sendiri. Sebab saya seperti melihat diri saya yang masih belia di masa lalu.
Dalam hati saya cuma ada doa, semoga Allah mempercepat kedewasaan mereka, menambahkan ilmunya, memberi mereka jalan akses yang cepat dan mudah untuk belajar ilmu syariah. Agar mereka segera sadar kalau mereka masih butuh banyak belajar lagi ke depan. Masak baru kenal sedikit-sedikit dengan karya-karya Ibnu Taimiyah dan Ibnul Qayyim saja, sudah merasa jadi ulama terbesar yang merasa bisa menyalahkan siapa saja? Itu sih sudah jadi masa lalu. Kalau sampai hari ini tidak sadar-sadar juga, ah sayang sekali tentu.
Ahmad Sarwat, Lc., MA
Related Posts:
Fiqih
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 komentar: