Sunday, September 27, 2015
“Yaa Allaah Gustiiiii!!! Ini ngibadah cap apaaaa!!!”
Sholat
itu boleh dikata masih masuk akal. Gerakan-gerakannya jelas-jelas
menggambarkan sikap menyembah dan memuja. Belum lagi bacaan-bacaannya.
Tapi haji?
Thowaf
itu ya cuma lenggang-kangkung mengelilingi sebuah kubus. Tak ada rukun
lainnya. Tak ada mantera atau doa apa pun yang diharuskan. Engkau bisa
thowaf sambil ngerumpi soal Jokowi tanpa menciderai keabsahannya.
Wira-wiri Shofa-Marwah pergi-pulang? Apalagi! Malah tak ada syarat
bersuci. Dan wukuf? Kongkow di sebuah padang gersang. Boleh sambil tidur
atau pun pingsan. Sesudah itu apa? Melempari tembok dengan kerikil! Apa
yang masuk akal dari semua itu?
Dulu,
pada masa ketika Jumrah masih tiang yang ramping dan orang-orang harus
berebut mengincarnya, ada seorang jemaah haji yang sampai frustrasi.
Sedang konsentrasi mengincar, tangannya kesenggol hingga kerikilnya
jatuh. Ia ulangi lagi, kesenggol lagi jatuh lagi. Ia ulangi, begitu
lagi. Terus sampai entah berapa kali. Hingga di puncak kaku-hati, ia pun
menjerit,
“Yaa Allaah Gustiiiii!!! Ini ngibadah cap apaaaa!!!”
Tapi
tak bisa dijelaskan bukan berarti tak ada penjelasan. Engkau hanya tak
tahu. Atau tak menemukan kata-kata untuknya. Nyatanya, jika kau sungguh
percaya, ada sejenis rasa yang merembes dan mengendap kedalam jiwamu
saat kau melaksanakan laku haji itu. Rasa yang terus menyertaimu hingga
kapan saja. Menghangati jiwamu dengan rindu. Dan mimpi abadi pengen
balik lagi.
Saya
sempat menduga, panggilan haji itu layaknya sebuah tantangan. Sejauh
mana engkau percaya, hingga patuh disuruh apa saja. Bahkan melakukan
pekerjaan-pekerjaan yang bagi akal netral tak lebih dari omomg-kosong
belaka.
Kalau
kau tanya alasan untuk percaya, alasannya adalah bukti. Sejak pertama
kali kesana, nyaris dua puluh tahuan yang lalu, semua hal duniawi yang
saya minta dalam doa-doa saya di Tanah Suci sudah diijabahi. Tuntas.
Tanpa sisa. Mulai dari isteri cantik sampai perubahan politik. Dituruti
tanpa kecuali. Sekarang kalau akan kesana lagi, saya harus memikirkan
permintaan yang baru.
Maka
tak ada yang mengherankan kalau seorang seperti Simbah Kyai Maimun
Zubair entah sejak kapan beristiqomah berangkat haji setiap tahunnya.
Keterbatasan quota ONH tak pernah menghalangi beliau. Apa pun jalan yang
mungkin, beliau tak ragu menempuhnya. Visa jenis apa pun beliau mau.
Tak ada visa haji, visa ziaroh pun boleh. Bahkan pernah beliau harus
berangkat dengan visa tenaga kerja musiman. Yakni yang khusus untuk
dipekerjakan selama musim haji saja.
Demikianlah.
Syahdan, di gawang imigrasi Madinah, masalah datang. Petugas imigrasi
tak percaya orang setua itu datang sebagai tenaga kerja. Ya logis to.
Lha wong usia beliau sudah mendekati 90 tahun.
Mbah
Maimun jelas tak mau menjawab pertanyaan-pertanyaan yang dicecarkan
saat interogasi. Kalau beliau terang-terangan bicara bahasa Arab dengan
fasih dan lancar sekali, itu hanya berarti mementokkan kecurigaan
petugas imigrasi. Maka beliau menyabarkan diri bertawakkal walau
tertahan berjam-jam. Sampai kemudian seorang santri Sayyid Muhammad bin
‘Alawy Al Maliki, yang memang bertugas menjemput, menjadi terlalu cemas
karena kalamaan menunggu. Lalu menerobos ke kantor imigrasi untuk
mencari tahu. Dan cecaran pertanyaan petugas pun beralih kepadanya,
“Apa benar dia ini tenaga kerja?”
“Iya!”
“Masa?”
“Saumpritt!”
“Setua ini?”
“Memangnya nggak boleh?”
“Kerja dimana coba?”
“Di rumah makan”.
“Orang setua ini mau disuruh kerja bagian apa?”
“Bagian icip-icip!”
Entah
percaya betulan atau hanya karena kasihan atau karena karomah Mbah
Maimun sendiri, petugas imigrasi akhirnya meloloskan beliau dengan
status buruh rumah makan bagian mencicipi masakan.
Related Posts:
Hikmah Kisah
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 komentar: