Sunday, October 15, 2017
Kyai Menguak keberkahan Tanah dan Air (Part2)
Ramadhan kemarin, ketika saya diundang oleh Kick Andy, dibuatkan sebuah acara bertajuk ‘Dakwah Ramah’ dengan merangkul anak-anak jalanan. Perasaan saya dan istri serta beberapa penonton di ruangan itu, melihat tidak ada yang salah dengan pernyataan saya.
Namun ada perasaan tidak enak di hati saya. Melihat yang sudah-sudah sekelas Ketua Umum PBNU saja (Kyai Said Aqil) dibully terus-terusan, tapi beliau bandel. Hingga saya pernah bertanya, “Kyai kok tenang-tenang saja?” Jawab Kyai Said enteng, “Lha wong HP saya jadul.” Jadi selama ini beliau tidak bermedsos seperti twitter, facebook ataupun lainnya.
Giliran Gus Mus yang saya tanya, “Abah tenang-tenang saja?” Jawab Gus Mus, “Lha iya, kita mikirnya Allah saja, kenapa mikir manusia?” Beliau kalau ke saya sangat luwes.
Saya juga pernah bertanya kepada Mbah Mun (KH. Maimoen Zubair), karena sekelas beliau ada saja yang menyerang. Namun jawab Mbah Mun,“Saya itu senang aja dikomentari, mau jelek atau tidak.” Habib Luthfi Bin Yahya pun mengalami hal serupa dengan para pimpinan NU tersebut.
Jadi setelah para pimpinan NU diserang tapi tidak mempan,maka serangan mulai ke tingkat bawah, yaitu saya sebagai Ketua Lembaga Dakwah Nahdlatul Ulama (LDNU). Jadi waktu itu saya sudah tahu akan diserang. Betul saja, MCA (Muslim Cyber Army) menyerang dengan narasi yang tidak pernah saya ucapkan, “Perhatikan, adakah yang salah dari video ini?” Mereka mengambil (potongan) video yang satu menit, lalu mereka membuat narasi, “Kyai Maman menyamakan semua agama”.
Apakah itu ada di pernyataan saya? Saya cek tidak ada. Dan dibully selama kurang lebih seminggu. Kalau saya sih biasa-biasa saja dibully, tapi yang tidak biasa adalah staf-staf saya di LDNU. Hingga putri saya yang sedang mesantren di Bahrul Ulum Jombang ikut marah, ngomong ke ibunya, “Mah, Papa sedang diserang, apa perlu kita bacain doa di sini, istighatsahan agar yang nyerang Papa mati semua?” Istri saya hanya menjawab, “Papamu tidak pernah mengajarkan untuk membalas orang yang membenci.”
Anak-anak santri saya yang sedang keluar sering diomongi oleh salah satu guru yang kebetulan hari ini kampungnya terkenal dengan tertangkapnya seorang teroris. Kata dia Kyai Maman tidak pernah shalat, mengajarkan keagamaan yang ngacau, sering ziarah kubur, dlsb. Jadi tuduhan-tuduhan seperti itu sudah sangat biasa bagi saya.
Singkat cerita, bully-an terhadap saya pasca acara Kick Andy, selesai setelah satu minggu. Tiba-tiba ada yang telepon ke Bang Andy (host acara Kick Andy), “Mas Andy, bolehkah saya minta nomor teleponnya Pak Maman?” Jawab Bang Andy, “Saya harus telepon dulu Kang Mamannya.”
Kemudian Bang Andy telepon saya, katanya, “Kang, ada yang minta nomor telepon.” “Ini haters atau lovers?” tanya saya. Kata Bang Andy, “Aku tidak tahu.” Lalu saya jawab, “Ya sudah, kasih saja.”
Beberapa saat kemudian orang itu menelepon saya, “Pak Maman, bolehkah saya berkunjung ke rumah?”
Bayanganku langsung teringat dulu saat tragedi di Monas, saya digebukin sampai kepala saya dijahit dengan 18 jahitan, dagu 4 jahitan dan dada saya diinjak-injak. Saya juga teringat saat Gus Dur datang ke tempat saya dirawat, beliau nampak bersedih. Waktu itu kepala saya masih menetes darah, kemudian tangan Gus Dur diusapkan ke darah itu lalu dicium di hidungnya seraya berkata, “Tidak boleh ada lagi darah yang mengucur untuk membela keragaman, membela kebhinnekaan.”
Namun kemudian Gus Dur tersenyum dan berkata, “Tapi bersyukur saja Kang Manan, Anda hanya 18 jahitan tapi jadi terkenal seluruh Indonesia.”
Saya terus-terusan difitnah, pesantren saya diprovokasi, dan lain sebagainya. Ada saja orang yang percaya bahwa saya salah. Ada beberapa tokoh NU yang datang dari Tanjungsari, Tasikmalaya, untuk klarifikasi. Saya jawab, “Tidak ada yang salah. Saya yakin dengan Islam. Dst.”
Singkat cerita orang yang menelepon saya datang bersama istrinya ke tempat saya di Jatiwangi Majalengka. Orang itu datang ke ayah saya seraya bilang, “Saya mau ketemu Pak Maman.” Ayah saya menjawab, “Pak Mamannya tidak ada, sedang di Jakarta.” “Saya ingin tahu, benar atau tidak di sini ada pesantrennya,” kata orang China tadi kemudian.
Lalu mereka diajak keliling ditunjukkan di mana anak-anak jalanannya, di mana kepengurusan Paket C, dan lain sebagainya. “Tempat ini bagaimana cara membangunnya?” tanyanya kemudian. Dijawab, “Dibangun sedikit-demi sedikit.” Jadi tidak seperti pesantren-pesantren yang pinjam uang dulu ke bank puluhan milyar, baru dicarikan santrinya dengan biaya SPP puluhan juta perbulan. Kita pesantren-pesantren NU benar-benar dimulai dari nol, bahkan terkadang harus menggratiskan biaya para santrinya.
Akhirnya orang itu bilang, “Pak Haji, bilang ke Pak Maman, apa yang dibutuhkan?” Ayah mertua saya hanya bilang, “Di sini sering ada acara Fatayat, Muslimat, IPPNU dan semuanya tingkat Jawa Barat. Jadi butuh Aula.”
Lalu orang itu berkata, “Ok, saya akan bangun Aula. Saya nonton sepanjang acara Kick Andy. Saya tahu persis bagaimana perasaan Pak Maman ketika dibully. Saya hanya ingin mengatakan akan bantu kepada siapapun yang berjuang di jalan Tuhan.” Tanpa berpanjang kata dan tanpa proposal yang rumit, orang itu menyumbangkan dananya sebesar 1 Milyar. Saya meyakini itu bagian dari keberkahan.
Menyambungkan ke cerita sebelumnya, saya menikah tahun 1994 dengan Ibu Hj. Upik Rofiqoh. Dulu saya beserta istri sering sowan ke Ibu Nyai Khadijah Bahrul Ulum Jombang. Kepala kami sering dielus-elus oleh Ibu Nyai seraya didoakan. Sampai sekarang masih sangat terasa keberkahan doa-doa itu.
Singkat kata, semoga anak-cucu kita meneruskan estafet perjuangan ini, tetap mesantren di pesantren-pesantren NU, dan tetap jadi Sarkub (Sarjana Kuburan). Jangan sampai ada lulusan Pesantren Tambakberas tiba-tiba jadi anti ziarah kubur. Lanjut nanti ke bagian 3 kisah menarik Gus Dur dengan para kyai NU...
*Sya'roni As-Samfuriy. Disampaikan oleh KH. Maman Imanulhaq, Pengasuh Pondok Pesantren Al-Mizan Jatiwangi Majalengka dan Ketua Umum LDNU Pusat dalam Pengajian Akbar dan Khataman Al-Quran Reuni IKABU (Ikatan Alumni Bahrul Ulum Tambakberas se-Jabodetabek).
Related Posts:
Hikmah
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 komentar: